2022

Makanan Yang Diharamkan

Makanan Yang Diharamkan
Makanan Yang Diharamkan
JUDUL : MAKANAN YANG DIHARAMKAN
Tafsir II Ahkami

A.Pendahuluan
.
Agama Islam ialah agama yang sangat sempurna, komprehensip dan gampang syariatnya. Di antara bukti kebaikan  menghalalkan semua masakan danIdan kemudahan syari’at Islam, Allah  minuman yang mengandung maslahat dan manfaat bagi badan, ruh maupun etika manusia. Demikian pula sebaliknya, Allah mengharamkan semua masakan dan minuman yang menjadikan mudharat atau yang mengandung mudharat lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad manusia.
Segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT dimuka bumi ini merupakan karunia dan akomodasi yang diperuntukkan untuk umat manusia. Berbagai komunitas darat, bahari dan udara yang dilengkapi dengan aneka macam flora dan binatang, lengkap dengan keistimewaan dan keajaibannya menjadi mengambarkan betapa mulianya makhluk yang berjulukan insan ini dan betapa Maha Besar dan Maha Kuasanya Allah SWT sang maha Pencipta.
Komunitas darat, bahari dan udara ada yang dihalalkan, ada yang diharamkan dan bahkan ada yang belum terang halal dan haramnya. Setiap ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT, baik yang berupa aturan halal maupun aturan haram telah mengandung pesan yang tersirat dan alasan yang rasional untuk kemaslahatan umat insan itu sendiri. Namun dalam realitasnya insan sering terjebak dalam belenggu nafsu dan kenikmatan sesaat. Halal dan haram tidak lagi bersandar pada hukum-hukum Allah SWT, melainkan pengecap dan nafsu kesenangan menjadi penentunya. Bertitik tolak dari uraian di atas, maka dalam makalah ini akan kami bahas sedikit perihal Interpretasi masakan yang haram berdasarkan penafsiran ahkami sebagaimana yang terkandung dalam Q.S. Al-Maidah (5) ayat 3.




A.    Q.S. Al-Maidah (5) ayat 3
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZƒÏŠ Ÿxsù öNèdöqt±øƒrB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøƒxC uŽöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b}   ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kau menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,  (mengundi nasib dengan anak panah itu) ialah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir Telah frustasi untuk (mengalahkan) agamamu, alasannya ialah itu janganlah kau takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kau agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

v  Makna Mufrodat

  الميتة : Bangkai
الدم       :Darah yang keluar dari tubuh,
لحم الخنزير         :dan daging babi
اهل لغير الله  Menyembelih lantaran selain Allah, ketika menyembelih menyebut nama selain Allah.
èالمنخنقة  : yang tercekik
 الموقودة            : yang terpukul
المتردية  : yang jatuh
النطيحة   : yang ditanduk
النصب    : Batu yang ditancapkan di tanah ‘di batu’ itu orang-orang menyembelih binatang kurban mereka, menguliti kurbannya, dan memperabukan dagingnya.
الازلم     : Anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah memakai anak panah yang belum pakai bulu untuk memilih apakah mereka akan melaksanakan suatu perbuatan atau tidak.
اليوم                   : Yang dimaksud dengan hari ialah: masa, yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh nabi Muhammad s.a.w.
اضطر    : Dibolehkan memakan masakan yang diharamkan oleh ayat Ini jikalau terpaksa.

v  Munasabah

$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”.
Dalam ayat-ayat yang terdahulu,Allah SWT menerangkan ihwal orang-orang yang menjadikan(menyembah) tandingan-tandingan selain Allah dan mencintainya sebagaimana menyayangi Allah dan ia mengisyaratkan,bahwa sebabnya hingga demikian itu ialah karena kecintaan mereka kepada kehidupan dunia dan ketergantungan mereka dalam penghidupan dan pangkat-pangkat keduniaan dengan pemimpin-pemimpin mereka.Dan (dalam ayat-ayat ini)Allah SWT mengabarkan kepada insan seluruhnya,agar mereka makan apa saja yang ada dimuka bumi,sebab Ia memperkenankan kepada mereka seluruh kekayaannya dan kandungan-kandungannya,dengan syarat,bahwa apa yang mereka peroleh itu ialah halal daelah n bagus.Ia berfirman,’’Hai manusia,makanlah yang halal lagi elok dari apa saja yang terdapat dibumi.’’(QS 2:168).Lalu ia menerangkan ihwal orang-orang kafir yang bertaqlid buta mengikuti kepala-kepala  mereka sebagaimana kambing yang mengikuti tukang gembalanya,sebab mereka tidak lagi mempunyai kebebasan dalam berfikir dan bertindak.Kemudian Ia mengarahkan khitab-Nya secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin lantaran merekalah yang lebih berhak untuk mengerti,lebih patut untuk mengetahui dan lebih tepat untuk mengambil petunjuk.
Dalam tafsir imam Syafi’i ,diterangkan,imam Syafi’i berkata :aku  berkata kepada seseorang, Allah telah mengharamkan bangkai dalam firmannya :  
P¤$!$#ur ôèptGøŠyJø9$# ãNä3øn=tæ MtBÌhãm
 ãdiharamkan bagi kalian (memakan)bangkai dan darah,
Kecuali dalam keadaan darurat. Apakah seseorang boleh menyampaikan ‘jika bangkai dihalalkan lantaran suatu kondisi dan bagi orang tertntu,apakah berarti bangkai dihalalkan bagi seseorang yang tidak dalam keadaan tidak dalam keadaan darurat? Dia menjawab ‘Tidak.[1]

v  Asbabun Nuzul

Dalam suatu riwayat Hibban bin Abjar ra. Menjelaskan, bahwa kami bersama Rasulullah saw, ketika saya sedang memasak daging bangkai. Tidak usang kemudian, Allah menurunkan ayat ini yang isinya ialah mengharamkan bangkai. Setelah itu, saya menumpahkan periuk yang berisi daging bangkai itu. (HR. Ibnu Mandah)
Ibnu Abbas ra. Menuturkan bahwa pada hari jumat, sehabis ashar, tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 H, Rasulullah saw melaksanakan haji wada’. Rasulullah saw menasehati para sahabat dalam suatu jamaah ketika berwuquf di arofah. Disela-sela khutbah Rasulullah saw, malaikat tiba memberikan ayat ini. Pada hari ini, telah saya sempurnakan untukmu agamamu... saya meridhai Islam sebagai agamamu (HR. Ibnu Jarir, Ibnu Mardawaih, dan Thabrani).[2]

B.     Pembahasan

1.      Masalah Makanan yang diharamkan
Allah Ta’ala melarang hamba-hambaNya mengkonsumsi makanan-makanan yang haram sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas.
Pertama, الميتة “Bangkai” yaitu binatang yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih atau diburu.[3]  Menurut kitab Tafsir al-Maraghi arti kata الميتة yaitu binatang yang mati tidak bernafas, atau tidak sanggup melaksanakan apa-apa, sedangkan berdasarkan syara’ yaitu binatang yang mati dan tidak ada impian bagi insan untuk memakannya.[4] Diantara pesan yang tersirat diharamkan bangkai antara lain lantaran bangkai itu kotor atau menjijikkan, memakan bangkai itu hina, mengandung kuman yang sangat membahayakan kesehatan, sudah menjadi kebiasaan orang muslim tidak memakan binatang kecuali binatang yang disengaja untuk dihilangkan ruhnya (disembelih).[5]
Kedua, الدام yaitu “darah” yang mengalir keluar dari tubuh hewan, lantaran disembelih atau lain-lainnya. Dalam tafsir al-Maraghi الدام  yaitu darah yang cair yang mengalir dan tumpah dari binatang walaupun sehabis itu menjadi padat atau membeku. Adapun pesan yang tersirat diharamkan darah itu antara lain, kotor atau menjijikkan, mengandung kuman dan zat-zat kotor dari tubuh dan sukar dicernakan.[6]
Dalam ayat tersebut, predikat “Haram” itu disandarkan pada dzatinya bangkai dan darah, sebagian ulama beropini bahwa yang diharamkannya itu hanya memakannya saja dengan dalil firman Allah “Makanlah dari sebaik-baik rizki yang kami berikan kepadamu” (QS. 2:172) dan ayat yang berikutnya “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya...” (QS. 2:173). Al-Jashash berkata: keharaman disini mencakup aneka macam segi pemanfaatannya, sehingga dihentikan memanfaatkan bangkai untuk memberi makan anjing dan binatang-binatang buas lainnya lantaran itu juga termasuk memanfaatkannya, padahal Allah mengharamkan bangkai secara mutlak yang disandarkan kepada dzatinya bangkai tersebut.
Adapun mengenai aturan memanfaatkan bangkai selain untuk dimakan, dalam hal ini Atha’ beropini boleh memanfaatkan gajihnya dan kulitnya. Gajihnya untuk meminyaki prahu dan kulitnya disama’ dengan alasan bahwa yang diharamkan dalam ayat tersebut hanya memakannya saja sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah yang lain “Sesuatu yang diharamkan bagi yang hendak memakannya” (QS. al-An’am 145). Sedangkan Menurut jumhur ulama’ haram memanfaatkannya sebagaimana yang terdapat dalam ayat diatas yakni memanfaatkannya, baik dimakan atau lainnya.
Ketiga, لحم الخنزير “daging babi” terbaca di atas bahwa hanya babi yang secara tegas disertakan kata daging ketika diuraikan keharamannya. Menurut al-Qardawi walaupn secara niscaya hanya Allah SWT yang mengetahui diam-diam keharaman daging babi, insan sanggup meneliti pesan yang tersirat dari larangan ini. Sebagaimana dinyatakan keharamannya babi ialah lantaran rijs dan isq, yaitu najis yang sanggup mempengaruhi sikap dan watak orang yang memakannya dan membawanya kepada sikap fasik (suka berbuat kejahatan). Keharaman ini akrab kaitannya dengan jawaban negatif yang ditimbulkannya, yaitu suka melaksanakan perbuatan dosa.[7]
Adapun mengenai keharaman babi, Menurut nash ayat yang diharamkannya yaitu dagingnya, maka sebagian golongan dzahiriyah beropini bahwa yang diharamkan hanya dagingnya saja, tidak termasuk gajihnya lantaran Allah berfirman “dan daging babi”. Sedang jumhur ulama beropini bahwa gajihnya juga haram lantaran daging mencakup gajih. Abu Hanifah dan Malik beropini boleh, asy-Syafi’i tidak memperkenankan, Abu Yusuf menganggap makruh.
Keempat,  binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah SWT. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
a.    Ulama Madzhab Hanbali dan Madzhab Maliki menyatakan bahwa penyebutan nama Allah SWT (bismillah=dengan nama Allah SWT) ialah syarat mutlak bagi sahnya penyembelihan. Karenanya, memakan sembelihan yang dengan sengaja tidak menyebut nama Allah SWT hukumnya haram. Jika lantaran lupa, makanannya tetap halal.
b.    Menurut Madzhab Syafi’i, penyebutan bismillah ialah sunah, dan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah SWT, baik disengaja ataupun tidak, ialah halal. Tetapi jikalau bismillah tidak dibaca hukumnya makruh. Alasannya, keumuman nash memberikan bolehnya seseorang menyembelih binatang tanpa membaca bismillah.
c.    Madzhab Hanafi beropini bahwa sembelihan tanpa mengucap bismillah lantaran lupa, halal dimakan. Namun, kalau sengaja tidak mengucapkan bismillah, hukumnya haram.[8]
Kelima, المنخنقة “binatang yang tercekik” diriwayatkan oleh ibnu Jarir didalam tafsirnya; berdasarkan Al-Suda yaitu binatang yang kepalanya terjepit oleh sesuatu (seperti kayu) diantara dua akses pernafasannya kemudian tercekik dan mati. Sedangkan berdasarkan Ibnu Abbas dan Dhuhak ialah binatang yang tercekik kemudian mati, atau binatang yang diyakini mati lantaran tercekik. Dan pendapat yang lebih utama kebenarannya yaitu binatang yang mati adapun lantaran tercekik atau lantaran  terjepit pada pecahan yang tidak akan sanggup selamat kemudian mati.[9]
Keenam, الموقودة  yakni binatang yang mati lantaran dipukul sangat keras dengan tongkat atau kerikil tanpa ada had kemudian mati tanpa disembelih sebagaimana yang dilakukan oleh orang jahiliyah. Sedangkan Islam mengharamkan kerena itu termasuk perbuatan menyiksa hewan. [10] Sebagaimana sabda rasulullah SAW:
ان الله كتب الإحسان علي كل شيء فإذاقتلتم فأحسنوا القتلة, وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة, وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته (رواه أحمد و مسلم واصحا ب السنن)
Allah mewajibkan berbuat baik atas sesuatu, kalau kau membunuh, bunuhlah dengan baik, kalau kau menyembelih, sembelihlah dengan baik, hendaklah seorang kau mempertajam pisaunya dan jangan hingga menyiksa binatang sembelihannya” (HR. Ahmad Muslim dan Ashabus Sunan).[11]
Ketujuh, المتردية yaitu binatang yang mati lantaran terjatuh dari daerah tinggi menyerupai gunung, atau tercebur kedalam sumur dan lainnya, binatang ini dihukumi menyerupai bangkai. Karena matinya bukan disembelih oleh insan dan bergotong-royong tidak ada maksud untuk memakannya.[12]
Kedelapan, النطيحةyaitu binatang yang ditanduk oleh binatang lain sehingga mati lantaran tandukan tersebut (tanpa perintah dari manusia). Natihah diharamkan Allah swt supaya insan tidak membiarkan begitu saja perkehian antara sesama binatang. Manusia dituntut semoga berusaha mearang perkelahian binatang tersebut. Oleh lantaran itu, walaupaun dalam perkelahian tersebut ada binatang yang mati dan mengeluarkan darah lantaran ditanduk atau dicakar lawanya, memakanya tetap haram.[13]
Binatang “yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas” kesemuanya masuk dalam pengertian aturan bangkai. “kecuali yang sempat kau sembelih”, penggalan ini merujuk kepada binatang mana saja diantara binatang yang sudah disebutkan di atas, namun keadaannya masih hidup dan sempat kau sembelih. Sehubungan dengan ayat tersebut, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ali, ia berkata, “jika seekor binatang yang itu masih bergerak, kakinya kelojotan, dan matanya kedap-kedip, maka makanlah ia (setelah kau menyembelihnya).” Diriwayatkan dari Thawus dan tabi’in lainnya bahwa apabila binatang sembelihan masih menunjukkan gerakan yang memberikan adanya kehidupan sehabis binatang itu disembelih, maka binatang itu halal. Hal ini merupakan mazhab jumhur fuqaha.[14]
Menurut Ibnu Faris Kata النصب)) an-nushub ialah berhala. Isim mufrod dan jama’nya anshoob yang artinya 360 berhala.[15]Di Ka’bah ada sekitas 360 berhala. Kalau mereka menyembelih binatang, mereka mempercikkan darak ke berhala-berhala itu, demikian juga ke Ka’bah. Mereka mengiris-iris dagingnya kemudian meletakkannya pada berhala. Kemudian Allah melarang perbuatan ini bagi orang mukmin serta mengharamkan memakan daging binatang yang disembelih di samping berhala walaupun binatang itu disembelih dengan menyebut nama Allah. Karena, perbuatan itu merupakan syirik yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kata (تستقسموا) terambil dari kata (قسمة) yakni pecahan atau nasib. Kata tastaqsimu berarti meminta atau memilih pecahan atau nasibnya. Untuk memilih pecahan atau nasib, orang-orang musyrik menempuh langkah yang salah, yaitu melakukannya dengan memakai apa yang diistilahkan oleh ayat ini dengan al-Azlama, bentuk jamak dari kata zalam yaitu kayu semacam anak panah, sebelum ditancapkan pada ujung besi. Alat ini dipakai untuk memilih nasib seseorang.[16]

2.      Masalah Kesempurnaan Agama Islam

الْيَوْمَ أَكْمَلْت لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتمَمْت عَلَيْكُمْ نِعْمَتى وَ رَضِيت لَكُمُ الاسلَمَ دِيناً

“Dan telah Ku-cukupkan kepada kau nikmat-Ku” Thabathaba’i  dalam tafsirnya membahas perbedaan antara kata (akmaltu) akmaltu yang diterjamahkan dengan Kusempurnakan dengan (atmamtu) yang diterjemahkan telah Ku cukupkan. Menurutnya kata akmaltu dipakai untuk memakai adonan dari semua hal yang masing-masing tepat dalam satu wadah yang utuh, sedang atmamtu ialah penghimpun banyak hal yang belum tepat sehingga dengan terhimpunya ia menjadi sempurna”.
Ayat di atas memakai kata akmaltu atau Ku-sempurnakan untuk agama dan atmamtu atau Ku-cukupkan nikmat-nikmat. Pemilihan akmaltu untuk agama memberi kode bahwa petunjuk-petunjuk agama yang beranekaragam itu, kesemuanya dan masing-masingnya telah sempurna, tidak hanya petunjuk agama perihal sholat, zakat, nikah, jual beli, kewarisan dan lain-lain mempunyai kekurangan. Tapai semua telah tepat dan dihimpun dalam satu wadah yang dinamai (dinu) yakni agama Islam. Adapun nikmat, ia cukupkan . banyak sekali nikmat yang diberikan Allah swt misalnya, kesehatan, kekayaan, keturunan, dan kedudukan. Meskipun nikmat Allah swt banyak tapi masing-masing bangun sendiri atau belum sempurna. Kesempurnaan didapatkan apabila dihimpun dengan petunjuk-petunjuk agama. Kaprikornus antara akmaltu dan atmamtu mempunyai kekerabatan yang akrab dalam memenui kesempurnaan agama.
Islam atau penyerahan diri itulah yang diterima Allah swt ورضيت لكم الاسلا م دينا dalam buku Quraysihab yang berjudul sececah cahaya ilahi, penulis mengemukakan bahwa dinun berarti agama dan pembalasan. Seakar dengan kata hutang. Demikian tersirat dari kata ( dinun) yang diterjemahkan dengan agama dan sekar dengan kata hutang, bahwa keberagamaan menuntut “pembayaran hutang” kepada Allah, namun lantaran insan tidak mampu, maka Islam (penyerahan diri) itulah pembayaran hutang. Saat menyerahkan diri maka insan dituntut untuk untuk tunduk mengikuti sepenuhnya perintah dan menjauhi larangan-Nya.[17]

3. Sejauh Mana Orang yang dalam keadaan terpaksa diperbolehkan makan daging?
Dalam tamat ayat ini dijelaskan bahwa ada pengecualian bagi orang-orang yang berada dalam keadaan terpaksa (darurat), maka tiada dosa baginya untuk memakan masakan yang telah diharamkan Allah, yaitu pada lafadz فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” dengan catatan tidak melebihi batas (makan hanya untuk bertahan hidup, bukan untuk memuaskan nafsu laparnya), lantaran jikalau melebihi batas tersebut maka tetap diharamkan.
Imam Malik beropini boleh makan hingga kenyang alasannya ialah keadaan terpaksa itu telah menghilangkan keharaman sehingga kembalilah aturan bangkai itu menjadi halal. Sedang jumhur ulama tidak sependapat dengan Imam Malik, lantaran dibolehkannya itu hanya dalam keadaan terpaksa maka harus diukur berdasarkan keperluannya saja.[18]

C.     Kesimpulan

Allah yang maha Agung lagi maha tinggi memperkenankan kepada hambahnya menikmati segala rizki yang baik-baik dan mengharamkan yang buruk-buruk menyerupai sebagaiman yang tercantum dalam surat al-Maidah ayat 3 di atas.
Adapun pesan yang tersirat diharamkanya bangkai ialah lantaran di dalam bangkai mengandung bahaya, alasannya ialah ada kalanya maut binatang itu lantaran sakit atau berpenyakit yang merusak tubuhnya sehingga menjadi alasannya ialah kematianya, maka dagingnya menjadi rusak dan diliputi aneka macam bakteri, dikhawatirkan basil tersebut berpindah ke tubuh orang yang memekanya. dan kadang disebabkan mati mendadak maka dimungkinkan adanya faktor-faktor yang berbahya dalam tubuh binatang tersebut sehingga pindah ke tubuh orang yang akan memakanya.



                                             DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. Jil 6 cet. 1.
Ahmad bin Mustofa al-Farran.Tafsir imam syafii.Jakarta. Almahira.2008
Hatta, Ahmad. Tafsir Alquran Perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjamah. 2009. Maghfirah Pustaka: Jakarta.
Hamidy, Mu’ammal.  Imron A. Manan. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni. 2003. PT Bina Ilmu: Surabaya.
Muhammad, Abdullah bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi. Tafsir al-Qurthubi: al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. Jilid 21.
Mushtofa, Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 6, Dar al-Fikr.
Nashib Muhammad ar-Rifa’i. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani. 2005
Quraish, M. Shihab. Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian al-Quran.



[1]Ahmad bin Mustofa al-Farran. Tafsir imam syafii.2008.Almahira.Jakarta.hal:282
[2] Ahmad Hatta. Tafsir Alquran Perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Tarjamah. 2009. Maghfirah Pustaka: Jakarta. hal 107.
[3] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. Jil 6 cet. 1. Hal 1073-1074
[4] Ahmad Mushtofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 6, Dar al-Fikr, hal. 47
(الأول الميتة) ويراد بها عرفا ما مات حتف أنفه : أي بدون فعل فاعل ، ويراد بها فى عرف الشرع ما مات ولم يذكه الإنسان لأجل أكله.......
[5] Ibid.
والحكمة في التحريم : استقدار الطباع السليمة لها........
[6] Ibid.
أي المائع الذي يسفح ويراق من الحيوان وإن جمد بعد ذلك.........
[7] Ibid. Hal 1074
[8] Abdul Aziz Dahlan. Ibid. Hal 1074
[9] Ahmad Mushtofa al-Maraghi,  op. Cit. 49
(الخامس المنخنقة) وقدروى ابن جبير في تفسيرهاأقوال:........
[10] Ibid.
والموقوذة هي التي تقتل بعصا اوبحجارة لاحدلها فتموت بلاذاكاة......
[11] Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi. Tafsir al-Qurthubi: al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. Jilid 21. Hal 2053
ومن تمام هذاالباب قوله عليه السلام: "ان الله كتب الاحسان.....
[12] Ibid.
السابع المتردية وهي تقع من مكان مرتفع كجبل.........
[13] Op.cit 1075
[14] محمد نسيب الرفاعي. تيسرالعلي القدير لاختصار تفسيرابن كثير,1989م. المكتبة المعارف: الرياد
[15] Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi. Op. Cit. Hal 2054
قال ابن فارس : ,,النصب,, حجر...
[16] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian al-Quran.
[17] M. Quraish Shihab. Op.cit. hal 23-25
[18] Mu’ammal Hamidy.  Imron A. Manan. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni. Surabaya: PT Bina Ilmu. 2003. Hal 111-118
Advertisement